Sebut saja namanya Feri, usianya sekitar 9 tahun. Jika ia bersekolah, maka seharusnya ia sudah duduk di kelas 4 atau 5 sekolah dasar. Namun karena keterbatasannya dan kondisi keluarga yang sangat sederhana, akhirnya ia tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Sejak lahir, ia memang telah didiagnosa mengalami kesulitan dalam berbicara, dalam istilah keseharian biasa kita sebut gagu atau tuna wicara. Kondisi perekonomian orang tuanya yang tidak cukup baik membuatnya tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya. Apalagi ia juga masih memiliki saudara2 lain yang tinggal bersamanya di rumah neneknya yang sangat sederhana dan berisi 3 keluarga.
Sebenarnya saya tidak terlalu mengenal Feri. Saya hanya kerap mendengar cerita tentangnya dari Mama saya yang membuka warung dengan menyewa halaman bagian depan rumah nenek Feri. Di halaman yang tidak terlalu luas itulah Mama membangun warung semi permanen untuk berjualan soto banjar dan berbagi menu lainnnya.
Kembali ke Feri. Sejak awal Mama berjualan,ia memang kerap mengeluhkan kenakalan Feri yang menurut Mama saya luar biasa. Maksudnya diluar kebiasaan anak2 pada umumnya. Mama seringkali bercerita bagaimana Feri kerap berteriak-teriak dengan suara yang tidak jelas,dan tentunya juga tidak dimengerti oleh ibu dan keluarga lainnya. Kadang Feri juga kerap melakukan hal2 yang cenderung membahayakan dirinya, seperti memukul atau menendang dinding rumah atau barang apa saja yang ia temui. Ia juga, kata Mama, kerap melemparkan barang apa saja yang ia temui dan bisa ia pegang. Dan itu biasanya terjadi ketika ia sedang merasa kesal dan marah. Selain dari Mama, saya juga kemudian kerap mendengar cerita yang sama dari istri yang belakangan sering membantu Mama berjualan.